Minggu, 04 Maret 2012

Politik Luar Negeri Soekarno-Soeharto

PERBANDINGAN POLITIK LUAR NEGERI MASA PEMERINTAHAN SOEKARNO DAN SOEHARTO

Pendahuluan
Soekarno dan Soeharto, adalah dua pemimpin yang menggores catatan sejarah. Mungkin mereka memang harus hadir tatkala zaman membutuhkan. Soekarno memandu rakyat menuju kemerdekaan. Soeharto meletakkan dasar-dasar ekonomi modern. Soekarno menjadikan Indonesia sebagai kekuatan regional yang dihormati, Soeharto menjadikan Indonesia negara yang dipandang secara ekonomi. Soekarno mengajak negara-negara terjajah menggalang kekuatan perlawanan. Soeharto meredakan ketegangan Asia Tenggara yang saling bertikai menjadi akur dalam ASEAN.
Ada keberhasilan, ada kegagalan. Ada perbedaan, tapi ada juga kemiripan sejarah. Karier politik Soekarno, umpamanya, berawal dari kegerahan dirinya menyaksikan imperialisme Hindia Belanda. Soekarno berjuang secara intelektual dan membangun pondasi bangsa. Dia semakin populer pada saat pemerintahan Jepang memanfaatkan kepiawaiannya berpidato sebagai propagandis yang mengampanyekan Asia Raya. Soekarno berjaya membangun konsep keindonesiaan yang pada era Hindia Belanda kedengaran absurd, dan berhasil mengejawantahkannya pada saat-saat terakhir pendudukan Jepang.
Kebijakan Politik Luar Negeri masa pemerintahan Presiden Soekarno. Soekarno menjalankan politik luar negeri Indonesia yang nasionalis dan revolusioner. Hal ini tecermin dari politik konfrontasi dengan Malaysia, penolakan keras Soekarno terhadap bantuan keuangan Barat dengan jargon “go to hell with your aid”, dan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaannya dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Landasan pemikiran Soekarno adalah Indonesia harus menolak perluasan imperialisme dan kembalinya kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan keuangan Barat serta PBB, dalam pemikiran Soekarno ketika itu, adalah representasi imperialisme dan kolonialisme. Politik luar negeri yang high profile, flamboyan, dan heroik semasa Soekarno, yang diwarnai sikap anti-imperialisme seperti penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika dan konfrontasi,
Pada masa Soekarno, kebijakan politik luar negeri Indonesia pada waktu itu adalah kebijakan yang anti barat, karena Soekarno menganggap negara-negara barat sebagai penjajah. Soekarno lebih mendekatkan diri dengan Uni Soviet. Presiden Uni Soviet, Nikita Khrushchev, hadir di Jakarta. Nikita Khrushchev menjanjikan bantuan senjata, pelatihan militer, hingga kapal selam. Juga ada bantuan duit. Khrushchev secara cerdik memanfaatkan isu kebencian Soekarno terhadap Amerika, gara-gara Irian Barat. Bagi Amerika, sikap Khrushchev ini merupakan tamparan. Sebuah haluan politik luar negeri baru kemudian diluncurkan Amerika. Untuk menjaga agar jangan sampai Indonesia semakin ke kiri, Amerika memutuskan mendukung integrasi Guinea Baru. Presiden John F. Kennedy diminta memberi perhatian secara pribadi kepada Soekarno. Maka, sewaktu Soekarno mampir di Amerika, April 1960, Kennedy mengundangnya ke Washington. Ia menjemput Bung Karno di bandar udara, hal yang tak pernah ia lakukan. Sebelum makan siang, ia membawa Soekarno ke lapangan rumput Gedung Putih, menunjukkan dua helikopter. Sebuah di antaranya dijanjikan sebagai oleh-oleh untuk Soekarno. Bung Karno sangat bersukacita."
Sebenarnya datangnya Nikita Khrushchev ke RI sebagai pelaksanaan hubungan kerjasama antar dua negara. Dimana Soekarno yang berideologi marhaenisme hasil perasan salah satunya paham Marxisme yang menjadi anutan ideologi Lenin menjadi kekuatan bagi pihak Uni Soviet untuk meluaskan kuku kekuasaan hegemoninya ke wilayah Asia Tenggara. Karena itulah pada tanggal 28 Februari 1960 di Istana Bogor dilangsungkan upacara penandatanganan tiga Naskah Persetujuan Bersama antara Pemerintah Uni Soviet yang diwakili oleh Perdana Menteri Nikita Khrushchev dan Pemerintah RI yang diwakili oleh Presiden Soekarno.
Ketiga Naskah Persetujuan Bersama itu adalah:
1. Pernyataan bersama antara Pemerintah RI dan Pemerintah Uni Soviet.
2. Perjanjian Kerjasama kebudayaan anatara Pemerintah RI dan Pemerintah Uni Soviet.
3. Perjanjian kerjasama ekonomi anatara Pemerintah RI dan Pemerintah Uni Soviet.
Dimana Pemerintah Uni Soviet memberikan kredit sebesar US$ 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta dolar Amerika) untuk berbagai pembangunan proyek seperti industri besi/baja, kimia, reaktor atom, teksil, dan pertanian.
Pihak Uni Soviet telah menjual senjata kepada RI. Pembelian senjata itu ditandatangani pada tanggal 4 Maret 1961 di Jakarta oleh Menteri Keamanan Nasional Jenderal Abdul Haris Nasution. Dimana pembelian senjata dari Uni Soviet itu adalah pembelian senjata terbesar yang pernah dilakukan oleh pihak RI sampai saat itu. Sebelum Perjanjian New York ditandatangani 15 Agustus 1962, itu telah terjadi kronologis kejadian yakni: Pertama, Soekarno memutuskan hubungan dilomatik dengan Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960, kedua, membeli senjata dari Uni Soviet pada tanggal 4 Maret 1961.
Soekarno, yang mengusung kebijakan politik luar negeri konfrontatif dan agresif. Pada tahun 1955, Indonesia menggelar Konferensi Asia Afrika di Bandung. Sebanyak 29 negara hadir dalam acara bersejarah ini. Kebanyakan negara yang mendiami dua benua ini menjadi bekas negara terjajah dan rata-rata belum lama merdeka. Lima tahun kemudian Soekarno di hadapan Sidang Majelis Umum PBB dengan berapi-api menyerukan kepada delegasi yang hadir terutama negara-negara yang kemudian dikenal sebagai negara dunia ketiga, yang disebutnya kekuatan Dunia Baru atau New Emerging Forces, untuk "Membangun Dunia Baru".
Uni-sovyet-lah negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia, dan dalam sidang umum PBB, delegasi Sovyet paling keras menentang Invasi militer Belanda ke indonesia tahun 1947. pada masa kekuasaan Soekarno, meskipun dikatakan politik Indonesia adalahpolitik bebas aktif dan non-blok. Namun, dalam kerangka perjuangan anti-imperialisme, Soekarno banyak merapat ke Uni-Sovyet.
Unisovyet menjadi negara pertama yang mendukung proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dinamika hubungan ini terus berlanjut, Uni-Sovyet menganggap Indonesia sebagai sekutu yang signifikan di Asia-pasifik. Apalagi, ketika soekarno menggalang konferensi Asia-Afrika untuk melawan Imperialisme dan Neo-kolonialisme, praktis Uni-Sovyet banyak mengintervensi.
Kunjungan pertama Soekarno ke Uni Soviet tahun 1956 menghasilkan pengiriman tujuh mahasiswa Indonesia pertama ke Moskwa tahun berikutnya (dua diantaranya adalah pekerja film Sjumandjaya dan Ami Prijono). Nikita S Khrushchev melakukan kunjungan balasan Februari-Maret 1960. Ketua Dewan Menteri Uni Republik-Republik Soviet Sosialis ini di Yogyakarta mengumumkan pembukaan Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa di Moskwa, yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Patrice Lumumba, untuk menghormati pejuang pembebasan nasional Kongo. Bersama pengumuman ini, Khrushchev mengundang mahasiswa Indonesia untuk belajar di sana dengan beasiswa Pemerintah Uni Soviet. Sejak itu mengalirlah mahasiswa Indonesia ke sana. Perjanjian antar organisasi massa, partai, dan institusi lain termasuk militer, menambah jumlah orang Indonesia yang belajar di Uni Soviet.
Soekarno membentuk New Emerging Forces (NEFO) sebagai tandingan PBB. Negeri-negeri yang bisa dikatakan sebagai NEFO berada dalam pengaruh kuat pemimpin-pemimpin yang bersandar kepada retorika anti-Barat. Sebagian besar adalah negeri-negeri Asia dan Afrika, yang baru merdeka dan mengalami revolusi pembebasan nasional. Meskipun kekuatan militernya tidak sebesar negara-negara NATO ataupun Pakta Warsawa, gaung manuver politik negeri-negeri NEFO dan pemimpin-pemimpinnya, cukup membuat elit Barat merasa terancam.
Soekarno mencoba mengintervensi kemerdekaan Malaysia yang dipimpin oleh kelompok-kelompok pro Barat sembari membantu gerilyawan komunis di utara semenanjung Malaka. Asia Tenggara dan Afrika menjelang 1965, memang seperti ladang pergolakan antara kelompok-kelompok pro Barat di satu pihak dan aliansi kelompok-kelompok nasionalis dan komunis di pihak lain. Situasi ini membuat Perang Dingin kurang lebih bermakna sebagai perang lanjutan antara rakyat negeri-negeri yang baru merdeka dengan mantan penjajahnya.
Soekarno ketika membubarkan Dewan Konstituante pada tahun 1959 beranggapan “revolusi belum usai”. Kemudian Soekarno mengidentifikasi musuh-musuhnya sebagai kelompok kontrarevolusi, nekolim (neo kolonialis dan imperialis baru), antek asing, dan subversif. Adapun Indonesia adalah pemimpin negara-negara baru melawan para musuh itu.
Untuk menunjukkan supremasi Indonesia, Soekarno membangun persenjataan militer yang tangguh, memerangi Belanda di Irian Barat, dan melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Soekarno juga memerintahkan pembangunan simpang susun Semanggi, stadion Senayan, TVRI, dan Monumen Nasional (Monas). Lantas diselenggarakanlah Pesta Olahraga Negara-negara Kekuatan Baru (Ganefo/Games for new emerging forces) sebagai tandingan Olimpiade. Semua dilakukan ketika ekonomi nasional morat-marit, sedangkan infrastruktur rusak berat.
Meskipun begitu, garis politik mercusuar ini berhasil memasukkan Irian Barat dalam peta nasional dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara kuat secara militer di Asia Timur. Sampai-sampai Federasi Malaysia dan Singapura– karena cemas –kemudian menjalin kerja sama pertahanan dengan Selandia Baru, Australia, dan Inggris (Five power defense agreement).
Soekarno ingin mengelola kemajemukan secara ideologis sambil membubarkan Partai Murba dan PSI.
Kebijakan Politik Luar Negeri masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Soeharto memang mengubah arah politik luar negeri Republik Indonesia begitu dia memegang tampuk pemerintahan. Kebijakan luar negeri bebas aktif yang lebih low profile dan tenang, namun punya harga diri. Politik di eranya mengedepankan pembangunan ekonomi sebagai basis. Pada awal pemerintahannya, Soeharto lebih menekankan membangun basis ekonomi di dalam negeri, dan mengurangi musuh di luar negeri. Langkah pertamanya adalah dengan melunturkan postur Indonesia sebagai ancaman bagi para negara tetangga melalui pengakhiran konfrontasi dengan Malaysia (11 September 1966), masuk kembali menjadi anggota PBB pada 28 September 1966.
Diplomasi kita telah berhasil mengadvokasi kepentingan Indonesia melalui diakuinya status Indonesia sebagai negara kepulauan melalui Law of The Sea Convention pada 1982. Dalam tulisan Professor Hasjim Djalal menyebutkan bahwa penerapan status kepulauan ini telah memperluas wilayah laut Indonesia hingga 5 juta kilometer persegi, karena itu, menjaga kedaulatan dan keamanan laut dan udara di atasnya akan menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia di masa yang akan datang.
Presiden Soeharto ikut memprakarsai kelahiran ASEAN melalui Deklarasi Bangkok, 8 Agustus 1967 (penandatangan dari Indonesia adalah Menlu Adam Malik). Langkah-langkah awal yang diambil Soeharto ini sangat tepat, karena memperlihatkan kepada dunia bahwa dia antikomunis. Dengan demikian, meski para tetangga tetap menganggap Indonesia ancaman, pakta pertahanan Five Powers Defense Arrangement (Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat) masih ada sampai hari ini. Pendirian ASEAN, di mana Indonesia merupakan pemain utama, juga memberikan jaminan kepada para tetangga Asia Tenggara bahwa Jakarta akan menempuh jalan damai bila timbul masalah. Terbukti, selama 40 tahun Asia Tenggara relatif tanpa perang dan konfrontasi antarsesama anggota ASEAN, meski bukan berarti tanpa masalah.
ASEAN juga bukannya tanpa kelemahan.
Melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I sampai VII (1999-2004) Soeharto menyusun tahapan-tahapan pembangunan di Indonesia, sampai negara ini berani tampil lagi di kancah dunia dengan penuh rasa percaya diri, karena ekonomi Indonesia juga bertumbuh secara cukup mengesankan, dan disebut sebagai salah satu macan Asia.
Salah satu keberhasilannya adalah melancarkan revolusi hijau yang berbuahkan penghargaan dalam KTT Pangan Dunia di Roma, 1984, sebagai negara yang berhasil dalam swasembada pangan. Soeharto tampil berpidato di depan sidang Food and Agriculture Organization, salah satu organ PBB.
“Perang tanpa bala, menang tanpa ngalahake” (perang tanpa tentara, menang tanpa mengalahkan), demikianlah falsafah Soeharto dalam menjalankan politik luar negeri. Namun hal itu mencerminkan situasi di awal Orde Baru, republik ini hampir tanpa modal dan nyaris bangkrut. Jadi cara paling aman adalah menghindari konflik dengan tetangga (good neighbour policy), dan membangun kerja sama di kawasan, serta mengundang investasi asing.
Soeharto beruntung ketiganya mampu menerjemahkan kebijakannya dengan baik, sehingga dapat menampilkan citra Indonesia yang cukup mengesankan di kancah dunia. Para pemimpin ASEAN tak akan pernah lupa Soeharto-lah yang memutuskan untuk tetap menyelenggarakan KTT III ASEAN di Manila, 14-15 Desember 1987, di tengah kemelut politik karena pemberontakan dan ancaman kudeta oleh Kolonel Gregorio Gringo Honassan. Langkah Soeharto ini untuk menunjukkan dukungan ASEAN kepada Presiden Corry Aquino, di saat para pemimpin ASEAN lainnya ragu untuk hadir. Soeharto-lah yang menjamin keamanan dengan mengirimkan satuan-satuan tempur ABRI, termasuk menyiagakan empat unit pengebom tempur A-4 Skyhawk TNI AU di Pangkalan Udara Sam Ratulangi Manado, demi mengamankan konferensi di Philippines International Convention Center, yang menghadap Teluk Manila.
Diawali oleh Menlu Mochtar Kusuma Atmaja, yang menghidupkan kembali gagasan cocktail party pada 1987, mulailah proses informal untuk mendamaikan empat faksi yang berperang di Kamboja. Langkahnya ini dilanjutkan oleh penggantinya Ali Alatas yang kemudian bersama-sama menlu Prancis menggelar Paris International Conference on Cambodia (PICC), secara maraton selama beberapa tahun di Jakarta dan Paris. Akhir upaya ini adalah perdamaian di negeri itu dalam pemilihan umum tahun 1994. Dalam proses ini pun Indonesia mengirimkan empat batalion TNI dan satuan Polri dalam Kontingen Garuda XXIII A, B, C, dan D untuk kurun waktu dua tahun di dua provinsi Kamboja.
Di bawah arahan Soeharto pula, pemerintah Filipina bisa berdamai dengan pemberontak Moro National Liberation Front (MNLF) di Filipina Selatan, melalui rangkaian perundingan di Jakarta selama beberapa tahun, sehingga kelompok ini mendapat otonomi dan meninggalkan gagasan merdeka.
Soeharto juga punya andil membangun atau menghidupkan sejumlah forum internasional di kawasan yang cukup strategis. Misalnya, pembentukan Forum Regional ASEAN (ARF) yang bisa menghadirkan para menteri luar negeri negara-negara besar dunia (termasuk lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dll) sejak 1993. Ia juga merevitalisasi Gerakan Nonblok yang kehilangan orientasi dan relevansi pasca-runtuhnya Tembok Berlin yang mengakhiri Perang Dingin. Di Jakarta pada Oktober 1992 digelar KTT X GNB yang menghidupkan kembali relevansi gerakan ini di tengah-tengah maraknya unilateralisme oleh Amerika Serikat sebagai superpower tunggal dan perpecahan di banyak negara, khususnya di kawasan Balkan.
Di Bogor pada Desember 1994, Indonesia menjadi tuan rumah KTT APEC ke-2 yang membuahkan Deklarasi Bogor untuk menjalin kerja sama ekonomi yang luas di kawasan Asia Pasifik. Dan sejak itu Soeharto selalu hadir setiap tahun dalam KTT APEC. Kehadirannya yang terakhir adalah KTT APEC ke-5 di Vancouver, Kanada, November 1997.
Soeharto sudah membuktikan bahwa politik luar negeri adalah cerminan politik di dalam negeri. Bila kondisi dalam negeri keropos, di luar negeri pun kita tidak dianggap oleh siapa-siapa. Pada era Soeharto justru sebaliknya, kebijakn politik RI lebih pro-barat, mengingat kondisi pada waktu itu Indonesia membutuhkan suntikan dana segar yang sangat banyak untuk menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan, dan juga salah satu faktor yang menentukan kebijakan pro-barat ini adalah orientasi ekonomi.
Posisi Indonesia yang solid di ASEAN menjadikan negara ini disegani di kawasan Asia Tengara. Dalam menyikapi masalah-masalah internasional, ASEAN kerap menunggu sikap resmi Indonesia. Dalam konteks pergulatan blok kekuatan dunia dan ideologi, ke mana Soeharto menghadapkan wajahnya? Meski tidak dinyatakan secara tegas, Indonesia memang dekat dengan Amerika. Maka saat hot spot di Timor Timur dikhawatirkan makin membara, mengikuti angin yang sedang kuat berembus, Soeharto memutuskan Indonesia masuk ke Timor Timur setelah Portugal mundur dan Fretilin yang beraliran politik kiri menguasai daerah ini pada tahun 1975.
Soeharto menggunakan tangan besi untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan. Soeharto juga menggunakan pinjaman luar negeri untuk membangun keamanan/security demi melanggengkan kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun.
Untuk melakukan pembangungan, Indonesia butuh modal dana. Dari mana uang didapat? Bapak Pembangunan, julukan untuk Soeharto, memilih memanfaatkan dana bantuan asing. Puluhan tahun, independensi ekonomi negara tergadaikan. Saat negara donor yang tergabung dalam Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI) dirasakan merecoki terlalu jauh, Soeharto beringsut. Ia tak mau didikte. IGGI pun dibubarkan. Soeharto seperti ingin menepis kesan ketakmandirian Indonesia dari utang luar negeri. Namun, nyatanya utang Indonesia sudah teramat banyak.
Pertumbuhan ekonomi tinggi terbukti cuma sepuhan belaka. Saat krisis moneter mendera, Indonesia kolaps. Begitupun dengan pemerintahan Soeharto. Kini media luar negeri lebih sering mencatatnya sebagai seorang diktator dan koruptor. Naiknya rejim Orde Baru mempengaruhi dinamika politik luar negeri Indonesia, terutama memperlakukan hubungan luar negeri Indonesia dengan negara-negara komunis seperti Unisovyet. Banyak mahasiswa dan intelektual Indonesia yang sedang melakukan study di Unisovyet tidak bisa pulang ke Indonesia, demikian pula pemerintah Indonesia membekukan segala bentuk hubungan kerjasama dengan Uni-sovyet. Runtuhhnya Uni-sovyet dan berakhirnya era-perang dingin mempengaruhi perubahan peta politik internasional, termasuk mempengaruhi hubungan Indonesia-Rusia.
Jenderal Soeharto yang dikenal antikomunis, memutuskan sudah tiba waktunya mengadakan kunjungan resmi ke negara komunis penting, antara lain karena persenjataan nuklir yang dimilikinya, yakni Uni Soviet. Memang perkembangan politik dalam negeri yang menarik sedang terjadi di Soviet dengan kepemimpinan Mikhail Gorbachev. Ia mereformasi politik dengan menerapkan perestroika (restrukturisasi) dan glasnost (keterbukaan).
Menurut Harian The Jakarta Post, pada edisi Kamis, 14 September 1989 mengutip ucapannya bahwa, "politik luar negeri tanpa dukungan kekuatan dalam negeri adalah sia-sia." Katanya, "Politik luar negeri Indonesia harus ditopang oleh stabilitas politik dan ekonomi."Jelas, setelah terjadi perubahan politik di dalam negeri dan prioritas pertama adalah pemulihan ekonomi, sulit dipertahankan bahwa Indonesia terus terisolasi dari kegiatan hubungan internasional. Untunglah, ada orang pintar di Departemen Luar Negeri yang pandai merumuskan surat pemberitahuan keputusan Presiden Soekarno itu kepada Sekjen PBB, U Thant. Surat pemberitahuan itu tidak menyatakan bahwa RI "keluar dari keanggotaan di PBB", tetapi merumuskan bahwa "untuk sementara RI tidak mampu melakukan kegiatan sebagai negara anggota PBB".
Karena itu, pada Sidang Umum PBB tahun 1966, tidak begitu sulit bagi delegasi Indonesia yang dipimpin Menlu Adam Malik untuk aktif kembali. Dalam surat pemberitahuan kepada Sekjen PBB, dinyatakan bahwa, "sekarang RI sudah dalam posisi untuk aktif kembali di PBB".
Hal yang juga merupakan tonggak sejarah sepanjang perkembangan ASEAN dan peranan Indonesia serta prestise Presiden Soeharto di kalangan para pemimpin ASEAN, adalah pertemuan puncak ke-3 ASEAN di Manila pada Desember 1987. Situasi politik dan keamanan di Manila waktu itu cukup genting. Presiden Corazon Aquino selamat dari usaha kup. Pertemuan puncak akhirnya jadi dilangsungkan atas dorongan Indonesia yang ikut mengatur pengamanan kota Manila.
Non-Blok dan APEC
Sekadar melengkapi gambaran sekilas ini, kita perlu menyebut paling sedikit dua peristiwa internasional, di mana Indonesia berperan sebagai tuan rumah. Meskipun Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok dapat dikatakan suatu peristiwa internasional yang cenderung "ramai-ramai" saja, makna politiknya penting bagi RI. Paling sedikit untuk menyatakan bahwa jangkauan politik luar negeri Indonesia luas dan tidak bergantung pada Barat. Sejumlah tokoh datang ke pertemuan ini, antara lain Yasser Arafat mewakili Palestina. Selain Non-Blok, pertemuan puncak Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) atau Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Bogor, November 1994, juga patut dikemukakan. Pembentukan wadah Asia Pasifik itu diprakarsai Australia. PM Paul Keating amat antusias tentang APEC.
DAFTAR PUSTAKA
ahmad sudirman, muba, itu soekarno membeli senjata dari uni soviet untuk dipakai mencaplok papua barat,http://www.dataphone.se/~ahmad/ 050813d.htm

JUNARTO IMAM PRAKOSOMEMBANDINGKAN SOEKARNO DENGAN SOEHARTO,

Lima kerangka teoritisPendekatan Terhadap Studi Politik Luar Negeri di Negara-negara Berkembang,http://globalisasi.wordpress.com/2006/12/25/pendekatan-terhadap-studi-politik-luar-negeri/
Prof Mohamad Sadli, Soeharto Gagal dalam Pemerataan,http://www.korantempo.com/korantempo/login.html
Kristanto Hartadi, Harumkan Indonesia di Kancah Dunia,http://www.sinarharapan.co.id/berita/0801/27/sh15.html


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites